OTONOMI DAERAH ; Pesimis dan Optimis
Dr. Muktiono Waspodo, M.Pd
Rasional
T |
untutan
masyarakat terhadap kemajuan bangsanya
menjadi sangat jelas ditemui di berbagai kesempatan dan tempat. Hal ini
juga dapat terlihat dari kebosanan
mereka dengan bahasa “rhetorika” yang enak didengar namun
kenyataan tidak demiki-an, bahkan sengaja tidak diimplementasi untuk
kepentingan masyarakat pada umumnya.
Kemandirian masyarakat untuk memperkuat peran daerahnya dalam
mengisi pembangunan nasional semakin semarak. Mereka dengan wawasan kedaerahan
menuntut ikut berperan di dalam pembangunan nasional ini. Walaupun sebenarnya
konsep wawasan kedaerahan itu sendiri sebaiknya tidak akan menggantikan wawasan
kebangsa-an. Hal ini dikarenakan wawasan kebangsaan memiliki nilai yang
universal yang dijunjung tinggi oleh daerah lainnya di seluruh Indonesia.
Saat ini masyarakat semakin berani bertindak terhadap berbagai
kesenjangan yang terjadi disekelilingnya. Tidak ragu lagi di kalangan
masyarakat untuk menyuarakan bahkan menuntut berbagai kesenjangan dituntaskan
oleh pemerin-tah, selaku penyelenggara negara yang berkuasa. Gaya bahasa “memperlunak” namun mengkaburkan
makna, perlu untuk kita tinggalkan. Sebab, hal inilah yang mengakibatkan
kalimatnya tak lagi berbicara tentang fakta yang ada.
Masyarakat semakin sadar akan cadangan sumber daya alam yang semakin
terbatas bagi kelangsungan hidupnya. Mereka menuntut berbagai penyalahgunaan
penggalian potensi sumber daya alam dapat diselesaikan secara adil dan
memuaskan masyarakat.
Ketidakadilan pemeratan yang ada antara pusat dan daerah menjadi
issue di kalangan masyarakat untuk diadakan sesuatu perubahan. Pada intinya
mas-yarakat Telah berkembang keinginan
yang maha “dahsyat” untuk merubah, memperbaiki demi penyempurnaan terhadap
berbagai dimensi kehidupan masyarakat
yang ada disekelilingnya.
Otonomi
Daerah, upaya perubahan.
Sesuai dengan semangat
reformasi dan tuntutan masyarakat, otonomi daerah telah direalisasikan secara
nyata. Otonomi daerah yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999
pada hakekatnya ingin mengubah para-digma lama dalam sistem pemerintahan yang
cenderung sentralistik dan birokratis menjadi paradigma baru
dalam sistem pemerintahan yang cende-rung desentralistik dan debirokratis.
Makna yang terkandung dalam otonomi daerah tersebut memberikan kewena-ngan yang
luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara secara proporsional yang
diwujudkan dengan pengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional,
serta perimbangan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan
dan keadilan dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Makna tersebut di atas
harus dijadikan “frame of knowledge”, pijakan untuk mengawali berbagai tindakan
yang diambil. Dengan demikian otonomi
daerah ini akan memberikan kesempatan bagi Pemerintah Daerah untuk berperan
lebih besar terhadap pembangunan nasional pada umumnya. Namun demikian,
pernyataan tersebut sepintas mempunyai makna menguntungkan pihak pemerintah
daerah, perlu ditinjau kembali secara cermat. Apakah Indone-sia sebagai suatu
negara yang terdiri provinsi, kabupaten/kota sampai pada desa telah siap
menerima kewenangan yang diberikan. Sebab dalam era otonomi, yang ditandai
dengan berbagai perubahan dalam ketatanegaraan mau-pun aturan main bagi
penyelenggaraan pemerintahan pusat maupun daerah, telah terlihat adanya “euforia
dan over-expectation”
Otonomi daerah menjadi
suatu wacana yang terus menerus bergulir,
dengan rangkaian kebijakan nasional untuk mengupayakan kemandirian
pemerintah daerah. Suatu harapan bahwa beragamannya ketegangan antara
Peme-rintah Daerah dan Pusat yang selama ini terjadi akan dapat diperbaiki
dengan memberikan kewenangan secara pro-porsional. Pada akhirnya akan terjadi berbagai perubahan
yang mendasar dalam tatanan pemerintahan pusat dan daerah, sebagai suatu konsekuensi diberlakukannya
otonomi daerah.
Arus
kekhawatiran
Pelaksanaan otonomi
daerah, dikhawatirkan akan menyimpan potensi
kekacauan (chaos) di dalam masyarakat, seperti halnya “egosentrisme” terhadap
sumber daya alam, persaingan yang kurang obyektif antar daerah, bahkan semakin
terkikisnya rasa kerukunan antar daerah. Banyak yang masih salah menafsirkan
bahwa otonomi dipahami hanya sebagai “kebebasan daerah untuk mengatur dirinya
sendiri”, melupakan bingkai persatuan dan kesatuan bangsa. Pada akhirnya di
kalangan masyarakat akan timbul sikap saling kecurigaan dan ketidaksukaan
dengan daerah lain, bahkan juga dengan pemerintah pusat.
Di sisi lain, banyak
pendapat dari berbagai kalangan, mengemukakan kekhawatiran akan terjadi raja-raja kecil yang tidak kalah
“rakusnya” melakukan KKN dibandingkan dengan sebelumnya. Sebab dengan
diberlakukannya otonomi, maka peran kontrol
dari pemerintah pusat semakin kecil. Hal ini pun dapat dibuktikan dari
fenomena yang terjadi bahwa “money politics” dalam pemili-han beberapa pejabat
di daerah, tak pernah terselesaikan dengan tuntas.
Kekhawatiran lain
muncul, jika pemerintah daerah tidak sanggup mengelola sumber daya alam dan
manusia yang dimilikinya, akan menga-kibatkan kekacauan dalam kehidupan di
daerah tersebut. Pemungutan pajak besar-besaran, menjadi alternatif daerah
untuk menopang beban penyelengaraan pemerintah daerah. Persoalan yang timbul,
tak selamanya pihak yang dikenai pajak sanggup memenuhi peraturan daerahnya.
Pada akhirnya akan timbul kontra produktif pihak yang terkena pajak, dan roda
pembangunan daerah menjadi terhambat.
Realitanya otonomi
daerah tidaklah sederhana yang dipahami kalangan masyarakat. Ihwal “kemiskinan”
pada lingkup wawasan kebangsaan, cende-rung akan menghilangkan obyektivitas
dan fairness, serta akhirnya dapat menjadikan partisipan dan
tergantung kepada kekuasaan di tingkat
lokal.
Arus
Optimisme Mengembangkan Daya Saing Strategis
Disadari maupun tidak,
era otonomi daerah akan memberikan peluang bagi komponen bangsa untuk saling
berupaya dalam mengembangkan daya saing strategis. Sebab era saat ini dan ke
depan, tidak dapat lagi setiap komponen bangsa untuk tinggal diam, dan hanya
dapat bertindak jika adanya petunjuk dari “atasan”. Untuk memiliki daya saing
strategis, maka pemerintah daerah harus memandang masyarakat sebagai sasaran
akhirnya yang perlu dilayani secara prima.
Diberlakukannya otonomi daerah,
dalam upaya mengembang daya saing strategis membutuhkan sumber daya manusia
yang handal. Tidak saja dari segi
kompetensi keahliannya, namun juga komitmen, motivasi, dan nilai-nilai ahlak
yang normatif. Hal ini berarti jika otonomi daerah dikumandangkan tanpa
menggunakan disipilin, mawas diri akan membingungkan semua pihak yang berada di
sekelilingnya.
Dalam rangka menyiapkan manusia Indonesia memiliki daya saing strategis,
pendidikan menjadi sangat penting. Pada prinsipnya pengembangan daya saing
strategis dilakukan melalui penciptaan iklim yang kondusif dan kompetitif dalam
semua aktivitas.. Untuk itu diperlukan sumber daya manu-sia yang berjiwa “entrepreneurship” sehingga dapat
mengembangkan daya strategis. Entrepreneurship mengandung arti bahwa sumberdaya
manusia tersebut memiliki jiwa kewirausahaan. Namun demikian dalam mengartikan
kewira-usahaaan jangan diartikan sempit sebagai “jiwa dagang”. Adapun ciri-ciri jiwa kewirausahaan itu sebagai berikut;
1.
Selalu berpikir maju, ingin lebih baik
2.
Kreatif dan selalu mencari solusi dari masalah yang
dihadapi
3.
Selalu berfikir dan bertindak efektif dan efisien
4.
Berani menghadapi resiko, apabila dia yakin arah yang
ditempuhnya benar
5.
Bekerja keras, tabah, tangguh dan ulet
6.
Memperoleh kepuasan atas prestasi (achievement) yang dicapainya.
Suatu komitmen bagi pencapaian daya saing strategis adalah
menciptakan tujuan yang akan mengarahkan unit kerja dengan baik. Daya saing
strategis dicapai apabila pemerintah daerah telah berhasil merumuskan serta
menerapkan suatu strategi dalam mencapai kepuasan kepada masyarakatya. Caranya
dengan menganalisis faktor internal dan eksternal, mengidentifikasi peluang dan
tantangan, serta menentukan mana di antara sumber daya tersebut yang merupakan kompetensi
inti. Strategi diarahkan untuk
sejumlah tindakan yang terintegrasi dan terkoordinasi untuk mendayagunakan
kompetensi inti terse-but. Pemerintah daerah perlu merumus-kan target yang
perlu dicapai yakni puncak keberhasilan, dan bukan hanya sekedar “rhetorika”, namun ada tinda-kan kongkrit yang tepat
sesuai dengan permasalahan yang dihadapinya.
Yakin atau tidak, di samping potensi bawaan seseorang, maka peluang
dalam mengembangkan daya saing strategis juga perlu didukung dengan lingkungan
kondusif. Dalam era otonomi daerah, kharakteristik masyarakat dan potensi
daerah perlu ditelaah secara cermat mungkin, sehingga dapat menjawab kebutuhan
masyarakat tersebut
Analisis
terhadap Fenomena
Fenomena pelaksanaan Otonomi daerah seakan membagi Indonesia dalam
dua kelompok. Di satu pihak ada kelompok
yang diuntungkan. Sisi lainnya ada yang tidak diuntungkan dari diberlakukannya
otonomi daerah. Dimanakah pihak
kelompok Saudara berada ? Jawabannya ada di hati kita masing-masing.
Pendapat sebagian masyarakat yang merasa khawatir,
dengan asumsi bahwa otonomi akan mempertajam kesenjangan sosial dan membuat
tingkat pendapatan masyarakat semakin tidak merata. Mereka berpendapat bahwa
otonomi daerah akan dinikmati oleh sekelompok kecil masyarakat. Sedangkan yang
lainnya bisa jadi hanya sebagai “penonton” saja, karena tidak memiliki peran
dan kekuasaan di wilayahnya. Persoalan lain yang tak kalah pentingnya dalam pelaksanaan
otonomi daerah adalah adanya kecenderungan naiknya beban pajak yang harus
ditanggung oleh masyarakat. Persoalan ini menjadi lebih buruk lagi, manakala
daerahnya tidak memiliki sumber daya manusia yang handal dan menipiskan
cadangan sumber daya alam di wilayah tersebut.
Kekuasaan
yang dibangun dari sema-ngat kedaerahan, namun mengesam-pingkan semangat
kebangsaan akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan dan penghidupan suatu
bangsa. Dalam konteks ini akan ada pertentangan berbagai kepentingan, ketika
otonomi daerah berjalan, mulai dari kepentingan individu, golongan dan
kepentingan nasional. Salah satu fenomena yang dapat terlihat, ada sekelompok
orang yang berupaya untuk mencalonkan “putra
daerah” memimpin daerahnya tanpa memperhitungkan kualitas pribadinya.
Hal inilah yang perlu dicermati, akibat kesalahan pemahaman dari makna otonomi
daerah. Seharusnya tidaklah demikian, pada hakekatnya otonomi daerah tidak
mempersempit keragaman daerah satu dan lainnya untuk berkiprah dalam mengemban
tugas di daerah lainnya.
Bangsa
Indonesia dalam menghadapi otonomi daerah, seakan-akan melupakan potensi dan
keragaman daerah untuk membentuk wawasan kebangsaan, dan seakan akan
mempersempit menjadi suatu wawasan kedaerahan saja. Hal ini tentunya, jika
dibiarkan akan mengan-cam keutuhan bangsa
Dalam rangka untuk memahami hakekat otonomi
daerah, maka proses pembelajaran dan sosialisasi menjadi prioritas yang harus
dilaksanakan. Pemda, DPRD, LSM, dan seluruh unit komponen yang ada di daerah
harus membentuk kekuatan yang sinergis dalam menentukan prioritas program.
Dengan suatu catatan, bahwa prioritas program berdasarkan kebutuhan dan potensi
daerah. Unsur pengawasan dan
pengendalian mutu program pada era otonomi perlu untuk ditingkatkan.
Dengan demikian hakikat otonomi sesungguhnya tidak
hanya mengurangi hal-hal yang bersifat instruktif, tetapi yang lebih penting
mengahapus hege-moni pemikiran top down. Hegemoni pemikiran senantiasa berakhir
dengan ketidakberdayaan serta menghilangkan kesempatan masyarakat untuk lebih sejahtera
dari wilayah yang dimilikinya.
Penutup
Semenjak tahun 2001 seiring dengan diberlakukannya
pelaksanaan Otonomi Daerah, maka pola sentralisasi diganti dengan
desentralisasi atau dekosentra-liasi. Pemerintah daerah dituntut untuk lebih
berperan dalam mengembangkan daya saing strategis daerahnya sebagai upaya
perwujudan untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan nasional.
Menyadari
akan pentingnya peran SDM dalam pelaksanaan otonomi daerah, maka diperlukan
perencanaan nasional yang lebih komprehensif dan berkesinambungan. Otonomi
daerah harus berorientasi kepada karakteristik daerah dan potensi daerah
sebagai modal dasar dalam pembangunan nasional pada umumnya.
Pelimpahan kewenangan kepada pemerintah daerah,
harus dilaksanakan dengan prosedur yang sistematis, tidak merusak namun
memperbaiki situasi dan kondisi yang telah ada. Motto yang tepat bagi gerakan
otonomi daertah ini yakni “memecahkan masalah tanpa menimbulkan
masalah baru” menuju masyarakat madani.
Keberhasilan otonomi tidak bisa
hanya mengandalkan optimis saja, namun kerja keras, ketulusan, dan pemikiran
yang inovatif tetap sangat diperlukan. Pelaksanaan otonomi daerah perlu
didasari oleh suatu kekuatan moral ke arah perbaikan demi penyempurnaan segala
aspek kehidupan. Tidak untuk saling balas dendam, namun saling mengkoreksi
seluruh komponen bangsa untuk kelangsungan pembangunan bangsa. Esensi otonomi
daerah dapat tercapai, apabila dilandasi oleh niat yang baik dan menggunakan
prosedur yang benar dengan memperhatikan kaidah nilai-nilai norma yang
universal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar