Kamis, 19 April 2012

Sahabat Sukses, “Cinta itu Anugerah dan Amanah”
Muktiono Waspodo

Bergemih hati saya, ketika  ada kegundahan hati seseorang mengkonsultasikan makna cinta dalam hidupnya. Ada perasaan hati yang tergerak untuk “share”, walaupun mungkin tidak diketahuinya secara langsung. Sahabat sukses, Hidup dengan cinta sesungguhnya adalah “anugerah dan amanah”. Karena itu setiap manusia yang ada di muka bumi ini akan menghadapi “pilihan”,.... ya atau tidak, namun jangan memilih “ataunya”, nanti mencerminkan anda dalam keraguan. Tentunya jangan diam diri, artinya anda tidak bersikap, ... 

Setiap orang pada hakekatnya mempunyai hak sama dengan orang lain tetapi berapa banyak orang yang justru membatasi diri meraka dengan alasan yang sebenarnya tidak masuk akal. Saya dari keluarga miskin karenanya saya tidak bisa kaya, atau saya tidak kuliah maka sudah bagus saya jadi buruh. Saya tidak perlu mencintai karena saya tidak dicintai, saya tidak perlu menghormati karena saya tidak dihormati. Kuatkan tindakan anda dengan cerminan kalbu hati yang jernih, ikhlas dan bersikap perasaan dan logika yang ada pada diri anda Jangan anda batasi kecintaan ada pada sesama, karena disitulah kebahagiaan hidup akan tergapai

Jadikan potensi diri anda sebagai penyemangat hidupmu, dan tidak perlu kuatir dalam mengarungi kehidupan ini. Pasti  jika anda ditanya? Apakah anda kuatir menghadapi bahtera kehidupan ini, Jawaban ya atau tidak,,,, jangan ragu-ragu. Pada saat jawaban ini telah terucap, lakukan instropeksi diri untuk menumbuhkan “potensi diri” anda. Yakinkan anda adalah yang beruntung dan berkah karena Allah SWT selalu bersama kita, dan masih banyak rekan yang baik, selalu memberikan semangat dalam hidup ini,

Dalam konteks tulisan ini, saya akan lebih “indepth” untuk memaknai arti “cinta” karena setiap manusia pasti akan mengalaminya. Mungkin perbedaannya pada “kadar”nya?
Pada hakekatnya cinta adalah kemampuan yang terintegrasi dalam seluruh aspek kepribadian kita. Kemampuan seseorang untuk mencintai adalah gambaran paling utuh dari seluruh kualitas kepribadiannya. Hanya orang-orang dengan kepribadian yang kuat dan kapasitas yang besar yang mampu mencintai. Orang-orang lemah, yang setiap saat bisa kita saksikan disekitar kita, tidak akan pernah bisa mencintai. Bahkan untuk mencintai diri mereka sekalipun. Takdir mereka adalah menantikan cinta dan kasih sayang orang-orang kuat.   Saya yakin anda bukan yang tipe ini

Sahabat sukses, 
Sejatinya anda adalah orang-orang kuat yang mampu mencintai dengan segenap kesadarannya. Maka akan selalu nampak dalam diri anda ekspresi kebajikan demi kebajikan. Sementara orang-orang lemah bahkan tidak memiki kesadaran untuk mencintai. Maka mereka terus mengkonsumsi kebajikan orang-orang kuat. Itu sebabnya orang-orang kuat dalam masyarakat merupakan faktor kohesi yang merekatkan masyarakat. Mereka merekatkan masyarakat dengan cinta dan kebajikan mereka. Makna inilah yang ditebarkan oleh Rasulullah SAW begitu beliau tiba di Madinah dan memulai kerja membangun negara baru itu : “wahai sekalian manusia, tebarkan salam, berikan makan, bangun sholat malam saat orang lain tertidur, niscaya kalian akan masuk syurga dengan damai”

Sahabat sukses,
Apa yang kamu ketahui tentang “cinta”, pasti kamu tahu banyak tentang itu. Cinta itu pada dasarnya adalah untuk saling menyelamatkan, saling melindungi dan membahagiakan diri. Jadi kata kuncinya “saling” memberi dan menerima. Bagaimana agar kita mampu mencintai dan dapat dicintai. Tentunya ketahui dulu karakteristik dari sahabat sukses. Jika kita mencintai diri atau pun orang lain dengan sepenuh hati, itu artinya kita menggantungkan diri pada makhluk yang dengan berbagai kelemahannya belum tentu dapat memberikan semua kebahagiannya. Oleh karena itu, cinta yang sepenuh hati hanya patut kita berikan pada Sang Khalik yang sudah pasti memberikan respon yang dapat menentramkan hati, karena Dia pasti akan memberikan balasan setimpal bahkan lebih daripada yang kita berikan kepada-Nya.
Firman-Nya ada dalam sebuah hadist qudsi, “Jika dia (hamba-Ku) mendekat kepadaku sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sedepa. Jika ia mendekat kepada-Ku sedepa, Aku akan mendekatinya sehasta, jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan berlari.”

Sekali lagi, mencintai dan dicintai memang sama pentingnya. Namun yang lebih penting lagi seberapa besar keikhlasan kita dalam bersikap dan bertindak, disitulah kebahagiaan akan hadir,..... amien..........................mwsukses sinergi.



Kamis, 05 April 2012

Pembelajaran Berbasis Aneka Sumber

          PEMBELAJARAN BERBASIS ANEKA SUMBER
 Dr. Muktiono Waspodo. M.Pd



Pembelajaran berbasis aneka sumber merupakan idaman bagi setiap peserta didik, karena akan memberikan peluang yang cukup besar baginya dalam melakukan aktivitas belajar. Dengan demikian perlu diciptakan kondisi sedemikian rupa yang memungkinkan peserta didik memiliki pengalaman belajar melalui berbagai sumber, baik sumber yang dirancang (by design) maupun yang dimanfaatkan (by utilization) untuk keperluan pembelajaran. Hal ini tentunya sejalan dengan perkembangan IPTEK, sumber belajar semakin lama semakin bertambah banyak jenisnya, sehingga memungkinkan orang-orang dapat belajar mandiri secara lebih baik.
Perkembangan kehidupan masyarakat juga telah terjadi pergeseran  dari era industri ke era informasi, yang akan berdampak pada perkembangan pendidikan. Di era informasi saat ini peserta didik setiap saat dihadapkan pada berbagai informasi dalam jumlah jauh lebih banyak dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Informasi tersebut disebarkan melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik. Jika peserta didik tidak dipersiapkan untuk dapat memberi makna terhadap informasi, menciptakannya menjadi pengetahuan, menggunakan serta mengevaluasi pengetahuan yang diciptakan orang lain, mereka dapat tertinggal oleh perkembangan ilmu pengetahuan tersebut. Esensinya belajar itu, adalah aktivitas yang harus dilakukan oleh peserta didik, untuk mengolah pesan pembelajaran (instructional) yang terkandung pada sumber belajar tersebut.
Dalam berbagai kesempatan, sebenarnya sumber belajar seringkali telah tersedia dihadapkan peserta didik, namun demikian belum optimal termanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Pembelajaran berbasis aneka sumber juga memiliki makna adanya kebebasan bagi peserta didik untuk memanfaatkan sumber belajar yang ada, guna mendukung aktivitas belajarnya. Perbedaan jenis, tingkat kecerdasan, serta gaya belajar masing-masing peserta didik mengakibatkan sumber belajar yang diperlukan dalam mencapai kompetensi tertentu juga berbeda. Atas dasar kenyataan yang demikian maka berkembangnya pendekatan belajar berbasis aneka sumber.
Semakin tersedianya sumber belajar di lingkungan peserta didik, akan memberikan peluang dan kesempatan yang lebih besar baginya untuk melakukan kegiatan belajar. Namun demikian motivasi intrinsik dari peserta didik untuk belajar merupakan faktor utama seseorang melakukan tindakan belajar. Dalam pemanfaatan sumber belajar, Pendidik (guru dan dosen) mempunyai tanggung jawab membantu peserta didik sehingga  belajar lebih mudah, lebih lancar, lebih terarah, dan akhirnya akan menyenangkan bagi dirinya. Oleh sebab itu Pendidik dituntut untuk memiliki kemampuan khusus yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber belajar. Tidak akan sia-sia, jika menggunakan aneka sumber belajar dalam kegiatan pembelajaran. Justru akan memberikan makna/arti yang lebih besar guna mengeksplorasi sumber belajar sehingga dapat memperllancar pencapaian tujuan pembelajaran.


B. PENTINGNYA PEMBELAJARAN BERBASIS ANEKA SUMBER

Pembelajaran adalah proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik  dan sumber belajar. Pada pengertian yang lain, pembelajaran merupakan bantuan pendidik kepada peserta didik memperoleh ilmu dan pengetahuan, penguasaan keterampilan, serta pembentukan sikap. Pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, walaupun mempunyai konotasi yang berbeda. Pengajaran memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan guru saja, sedangkan pembelajaran menyiratkan adanya interaksi antara guru dengan peserta didik dan sumber belajar lainnya. Keberhasilan proses pembelajaran dipengaruhi adanya ketersediaan sumber belajar.
Dalam kenyataan bahwa proses pembelajaran dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Untuk menghasilkan kualitas belajar yang optimal, maka perlu dirancang aktivitas belajar oleh peserta didik itu sendiri ataupun melalui peran Pendidik dan/atau  bimbingan orang lain. Kegiatan belajar tidak hanya di lembaga pendidikan formal saja, melainkan juga di lembaga nonformal. Bahkan belajar itu juga dapat terjadi dari lingkungan informal. Oleh karena itu belajat tidak dibatasi oleh waktu, tempat, dan sumber belajar.
Dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kaitannya dengan berbagai kehidupan bermasyarakat,  munculnya berbagai inovasi guna memberikan kemudahan bagi individu dan masyarakat. Tentunya pemerintah harus berupaya mengawalinya dengan mengkritisi  bagaimana cara mempelajarinya, dan sumber belajar apa yang sesuai dengan karakteristik peserta dididk (individu) dan masyakat pada umumnya. Pembelajaran dengan menggunakan aneka sumber menuntut adanya kemandirian dari peserta didik untuk belajat sepanjang hayat.
Gagne (1977) seperti yang dikutip Miarso (2004), berpendapat bahwa belajar merupakan seperangkat proses yang bersifat internal bagi setiap pribadi (hasil) yang merupakan hasil transformasi rangsangan yang berasal dari peristiwa eksternal dilingkungan pribadi yang bersangkutan (kondisi). Agar kondisi eksternal itu lebih bermakna sebaiknya diorganisasikan dalam urutan peristiwa pembelajaran (metode atau perlakuan). Pada umumnya belajar adalah upaya menguasai sesuatu yang baru yang ditandai dengan perubahan tingkah laku, sebagai hasil pengalaman dari upaya tersebut. Dalam melaksanakan kegiatan belajar tersebut, tentu saja memerlukan berbagai sumber belajar. Sedangkan pengertian  sumber belajar berdasarkan berbagai referensi disebutkan :
1.      Menurut Association for Educational Communications and Technology (AECT,1977) “Sumber belajar adalah  segala sesuatu atau daya yang dapat dimanfaatkan oleh guru, baik secara terpisah maupun dalam bentuk gabungan, untuk kepentingan belajar-mengajar dengan tujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi tujuan pembelajaran”
2.      Seel & Richey (1994) Sumber Belajar adalah manifestasi fisik dari teknologi – perangkat keras, perangkat lunak, dan bahan pembelajaran. Manifestasi fisik teknologi dapat dikategorikan dalam 4 jenis teknologi (Cetak, Audiovisual,   Berbasis Komputer, dan Terpadu
3.      Percival & Ellington (1988) : mengatakan bahwa sumber belajar yang dipakai dalam pendidikan atau latihan adalah suatu sistem yang terdiri dari sekumpulan bahan atau situasi yang diciptakan dengan sengaja dan dibuat agar memungkinkan siswa belajar secara individual. Sumber belajar inilah yang disebut media pendidikan atau media instruksional.
4.      Sudjana (1989) : menuliskan bahwa pengertian sumber belajar bisa diartikan secara sempit dan secara luas. Pengertian secara sempit diarahkan pada bahan-bahan cetak. Sedangkan secara luas tidak lain adalah daya yang bisa dimanfaatkan guna kepentingan proses belajar mengajar, baik secara langsung maupun tidak langsung.
5.      Ahmad Rohani (2004: 161) mendefinisikan “Sumber belajar sebagai segala daya yang dapat dipergunakan untuk kepentingan proses/ aktivitas pengajaran baik secara langsung maupun tidak langsung, di luar peserta didik (lingkungan) yang melengkapi mereka pada saat pembelajaran berlangsung.”

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa  sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk kepentingan pembelajaran sehingga diharapkan dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan Sedangkan sumber belajar akan menjadi bermakna bagi peserta didik dan Pendidik,  apabila sumber belajar diorganisir melalui rancangan yang memungkinkan seseorang dapat memanfaatkannya sebagai sumber belajar. Jika tidak maka tempat atau lingkungan alam sekitar, benda, orang atau buku sekalipun hanya sekedar  sesuatu yang tidak akan ada artinya apa-apa.
Dengan demikian pada hakikatnya sumber belajar begitu luas dan kompleks, lebih dari sekedar media pembelajaran. Segala sesuatu  yang dimungkinkan dapat dimanfaatkan untuk keberhasilan pembelajaran dapat dipertimbangkan menjadi sumber belajar. Hal ini menegaskan bahwa Pendidik (dosen dan guru) bukanlah satu-satunya sumber tetapi hanya salah satu saja dari sekian sumber belajar lainnya.
Untuk lebih jelasnya sumber belajar dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu :
1.      Sumber belajar yang direncanakan (by design) yaitu : Semua sumber yang secara khusus telah dikembangkan sebagai komponen sistem instruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal.
2.      Sumber belajar karena dimanfaatkan (by utilization) yaitu : Semua sumber yang tidak secara khusus didesain untuk keperluan pembelajaran namun dapat ditemukan, diaplikasikan dan dimanfaatkan untuk keperluan belajar. Contoh : Kantor pos pada awalnya hanya digunakan untuk kepentingan persuratan, tetapi kantor pos tersebut  dapat digunakan sebagai sumber belajar apabila seseorang sedang membicarakan pokok bahasan tentang persuratan.
Sumber belajar yang dirancang maupun dimanfaatkan, sama-sama pentingnya guna memberikanpeluang dan kesempatan untuk mendukung kegiatan pembelajaran. Kebermanfaatan sumber belajar sangat dipengaruhi oleh peserta didik, karena sesungguhnya “kebebasan’ di sini memiliki makna bahwa peserta didik diharapkan mampu untuk memilih dan memanfaatkan sumber belajar yang tersedia. Jika mampu dan dimungkinkan sesuai dengan  kebutuhan belajarnya, dapat juga mengembangkan sumber belajar sehingga kontektual dengan kebutuhannya. Peran pendidik, tentunya menciptakan lingkungan yang kondusif atau merangsang (menstimulus) terjadinya perbuatan belajar pada peserta didik.
Menurut AECT  (1977) telah membuat klasifikasi sumber belajar sebagai berikut:
1.      Pesan (messages), yaitu informasi yang ditransmisikan oleh komponen lain dalam bentuk ide, fakta, seni, dan data. Termasuk dalam kelompok pesan adalah semua bidang studi yang harus diajarkan kepada siswa.
2.      Orang (peoples), bertindak sebagai penyimpan, pengolah, dan penyaji pesan. Dalam kelompok ini misalnya guru, tutor, peserta didik, tokoh masyarakat (yang mungkin berinteraksi dengan masyarakat)
3.      Bahan (materials), yaitu perangkat lunak yang mengandung pesan untuk disajikan melalui penggunaan alat ataupun dirinya sendiri. Misalnya transparasi, slide, audio, video, buku, majalah, dan lainnya.
4.      Alat (devices), yaitu perangkat keras yang digunakan untuk menyampaikan pesan yang tersimpan dalam bahan. Misalnya slide proyektor, video tape, pesawat radio, televisi.
5.      Teknik (tecniques), yaitu prosedur atau acuan yang disiapkan untuk menggunakan bahan, peralatan, orang, dan lingkungan untuk menyampaikan pesan. Seperti belajar sendiri, simulasi, demonstrasi, tanya jawab.
6.      Lingkungan (setting), yaitu situasi di sekitar dimana pesan disampaikan, lingkungan bisa bersifat fisik (gedung sekolah, perpustakaan, laboratorium, studio, auditorium, museum, taman, lingkungan non fisik/ suasana belajar).
PEMILIHAN DAN PEMANFAATAN SUMBER BELAJAR
Dalam proses pemilihan sumber belajar yang efektif dan efisien, isi dan tujuan pembelajaran haruslah sesuai dengan karakteristik sumber belajar tertentu. Untuk memilih berbagai jenis atau komponen sumber belajar seperti yang dikemukakan Anderson (1987) dan AECT (1986), dapat digunakan sebagai langkah-langkah pemilihan secara menyeluruh; yaitu
(1)        merumuskan tujuan yang akan dicapai dengan penggunaan sumber belajar secara jelas.
(2)        Menentukan isi pesan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan.
(3)        Mencari bahan pembelajaran (materials) yang memuat isi pesan.
(4)        Menentukan apakah perlu menggunakan sumber belajar orang, seperti guru, pakar bidang ilmu, tokoh masyarakat dan sebagainya.
(5)        Menentukan apakah perlu menggunakan peralatan untuk mentransmisikan isi pesan.
(6)        Memilih peralatan yang sesuai dengan kebutuhan untuk mentransmisikan isi pesan.
(7)        Menentukan teknik penyajian pesan
(8)        Menentukan latar (setting) tempat berlangsung penggunaaan sumber belajar.
(9)        Menggunakan semua sumber belajar yang telah dipilih atau ditentukan yang efektif dan efisiensi
(10)   Mengadakan penilaian sumber belajar.
Berbagai jenis sumber belajar tersebut, pada dasarnya tidak boleh dilihat secara parsial. Aneka sumber belajar harus dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh dalam sebuah proses pembelajaran. Semua jenis sumber belajar yang memang sesuai, perlu dipertimbangkan demi tercapainya pembelajaran yang lebih baik. Dengan demikian diharapkan akan berdampak positif terhadap hasil pembelajaran. Ada sejumlah pertimbangan yang harus diperhatikan, ketika akan memilih dan memanfaatkan sumber belajar, yaitu :
1)  Bersifat ekonomis dan praktis (kesesuaian antara hasil dan biaya)
2)  Praktis dan sederhana artinya mudah dalam pengaturannya
3)  Fleksibel dan luwes, dalam merancang dan menerapkan sumber belajar tidak kaku dan dapat terjadi penyesuaian          .
4)  Sesuai dengan tujuanpembelajaran yang ingin dicapai dan materi yang diperlukan
5)  Sesuai dengan karakteristik peserta didik antara lain pada  taraf berfikir, tingkat perkembangan psikisnya.
Dalam mewujudkan masyarakat belajar sepanjang hayat (long life education) dan untuk menghadapi era informasi dan pasar bebas, para pendidik (guru, dosen, instruktur) harus berupaya menciptakan kondisi yang memungkinkan peserta didik memiliki pengalaman belajar dari berbagai sumber, baik sumber belajar yang dirancang maupun sumber belajar yang dimanfaatkan. Belajar merupakan suatu proses yang dilakukan oleh individu  untuk memperoleh  perubahan perilaku baru secra keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu  itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

C. MANFAAT PEMBELAJARAN BERBASIS ANEKA SUMBER
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat  dideskripsikan manfaat pembelajaran berbasis aneka sumber, yakni sebagai berikut;
1. Meningkatkan produktivitas pembelajaran dengan cara;
(a) mempercepat laju belajar dan membantu guru untuk menggunakan waktu secara lebih baik dan
(b) mengurangi beban guru dalam menyajikan informasi, sehingga dapat lebih banyak
mengembangkan inspirasi, memotivasi peserta didik secara maksimal
2. Memberikan kemungkinan pembelajaran yang sifatnya lebih individual, dengan cara:
(a) mengurangi intervensi guru yang kaku dan tradisional; dan
(b)memberikan kesempatan bagi siswa untuk berkembang sesuai dengan karakteristiknya
3. Meningkatkan kualitas proses pembelajaran, dengan cara:
(a) mengoptimalkan pemanfaatan jenis sumber belajar;
(b) penyajian informasi dan bahan secara lebih kongkrit.
5. Memungkinkan belajar secara seketika, cara:
(a) mengurangi kesenjangan antara pembelajaran yang bersifat verbal dan abstrak dengan realitas yang sifatnya kongkrit;
(b)  memberikan pengetahuan yang sifatnya langsung.
6. Memungkinkan penyajian pembelajaran yang lebih luas, dengan menyajikan informasi yang mampu menembus batas geografis.

Mengoptimalkan sumber belajar tidak selalu harus didukung biaya yang tinggi dan sulit untuk mendapatkannya, yang kadang-kadang ujung-ujungnya akan membebani orang tua siswa untuk mengeluarkan dana pendidikan yang lebih besar lagi. Padahal dengan berbekal kreativitas, guru dapat membuat dan menyediakan sumber belajar yang sederhana dan murah. Misalkan, bagaimana guru dan siswa dapat memanfaatkan bahan bekas. Bahan bekas, yang banyak berserakan di sekolah dan rumah, seperti kertas, mainan, dan bekas kemasan sering luput dari perhatian kita

D. PENCIPTAAN LINGKUNGAN BELAJAR YANG KONDUSIF

Agar proses pembelajaran memberikan makna yang jelas dan terciptanya lingkungan pembelajaran yang kondusif dengan menggunakan aneka sumber belajar. Bagaimana halnya dengan peran Pendidik ? Tentunya kehadiran sumber belajar selain Pendidik bukannya menjadikan dirinya “tidak aktif”. Karena  tugas pendidik diarahkan untuk merencanakan, menciptakan dan menemukan kegiatan kegiatan yang bersifat menantang yang akan dapat membangkitkan prakarasa belajar peserta didik. Di samping itu mereka berperan untuk menggunakan pemikirannya secara baik. Hal ini sangat penting sebagai landasan terciptanya masyarakat belajar sepanjang hayat dimana orang akan belajar terus secara bebas dan mandiri. Dalam upaya mewujudkan masyarakat belajar sepanjang hayat dan untuk menghadapi era informasi dan pasar bebas tersebut, para Pendidik (Guru maupun Dosen) harus berupaya menciptakan kondisi yang memungkinkan peserta didik memiliki pengalaman belajar dari berbagai sumber, baik sumber belajar yang dirancang maupun sumber belajar yang dimanfaatkan.
Oleh karena itu, guru dalam merancang pembelajaran perlu menganalisis sumber-sumber belajar apa yang tersedia dan dapat digunakan untuk menyampaikan isi pembelajaran. Perencanaan pembelajaran aneka sumber perlu dilakukan disebabkan: (1) dengan belajar berbasis aneka sumber, peserta didik dapat melakukan kegiatan belajar sesuai dengan gaya belajar yang dimilikinya, misalnya dengan jalan mendengarkan rekaman audio, siaran radio, dan melihat TV, video dan computer assisted instruction (CIA), dan lain-lain, (2) Kesempatan belajar karena hal ini sifatnya individual, maka seorang pebelajar dapat saja mengatur kapan waktu yang cocok buat mereka belajar, (3) Kemauan atau motivasi untuk belajar. Tanpa motivasi yang tinggi prestasi belajar akan sulit dicapai, walau bagaimanapun tersedianya berbagai aneka sumber belajar.
Beberapa manfaat yang dapat diambil dari belajar berbasis aneka sumber antara lain, (a) seseorang dapat belajar sesuai dengan kondisinya dan waktu belajar, (b) menimbulkan pemahaman yang lebih mendalam, (c) mendorong terjadinya pemusatan perhatian terhadap topic sehinggga pebelajar menggali lebih banyak informasi dan menghasilkan produk belajar yang lebih bermutu, (d) meningkatkan pembentukan ketrampilan berpikir seperti ketrampilan memecahkan masalah, memberikan pertimbangan-pertimbangan, (e) meningkatkan motivasi belajar, (f) mengurangi ketergantungan pada guru, (g) menumbuhkan kesempatan belajar yang baru, dan (g) menumbuhkan rasa percaya diri dalam menghadapi tantangan baru.
Sumber belajar yang dirancang maupun dimanfaatkan bagi keperluan pembelajaran, tentunya juga masih membutuhkan peran guru. Setidaknya melalui strategi pembelajaran yang dipilih guru harus mampu: mengenalkan, merencanakan  dan memanfaatkan sumber belajar sehingga hasil pembelajaran menjadi lebih efektif dan efisien. Oleh karena itu sebagai konsekuensi logisnya, guru perlu (1) mengetahui proses transformasi pesan-pesan pembelajaran  (2) mengetahui jenis dan karaktertik sumber belajar, dan (3) mengetahui bagaimana cara memanfaatkan sumber belajar untuk kepentingan pembelajaran. Dengan demikian setidaknya untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, seorang guru perlu mengetahui sumber belajar, pemanfaatan sumber belajar, dan pengelolaan sumber belajar tersebut.
Salah satu indikator  lingkungan belajar yang kondusif adalah lingkungan yang dapat menunjukan bahwa  peserta didik merasa nyaman, senang, dan semangat untuk belajar, serta hasilnya relati akan  menggembirakan dari target pencapaian hasil belajar yang ditetapkan. Lingkungan belajar akan tercipta kondusif, pada umumnya menunjukan adanya pemanfaatan sumber belajar yang tepat sesuai dengan tujuan pembelajaran dan karakteristik peserta didik.


F. PENUTUP

Pembelajaran berbasis aneka sumber belajar akan menjadi bermakna bagi bagi peserta didik maupun Pendidik, jika  sumber belajar dirancang dan  dikelola yang memungkinkan seseorang dapat memanfaatkannya sebagai sumber belajar secara mudah dan kontektual dengan kebutuhannya. Jika tidak maka tempat atau lingkungan alam sekitar, benda, orang atau buku sekalipun hanya sekedar  sesuatu yang tidak akan ada artinya apa-apa. Pada hakikatnya sumber belajar tersedia di lingkungan internal dan ekternal pada setting belajar. Oleh karena itu keberhasilan pembelajaran dengan menggunakan aneka sumber belajar dapat memungkinkan peserta didik berkembang secara optimal. Kehadiran sumber belajar lainnya, menunjukan bahwa Pendidik bukanlah satu-satunya sumber tetapi hanya salah satu saja dari sekian sumber belajar yang dapat menyampaikan pesan-pesan pembelajaran.
Sumber belajar pada hakekatnya bertujuan untuk mengembangkan berbagai potensi yang sesuai dengan karakteristik peserta didik. Oleh sebab itu sumber belajar dapat menjelajahi sumber pengalaman belajarnya, sehingga peserta dididk termotivasi dan mendapatkan kemudahan dalam kegiatan belajarnya. Belajar tidak dirasakan sebagai beban tetapi menjadikan pembelajaran berlangsung secara optimal dan efektif, apabila sang guru kreatif merancang pemanfaatan dari berbagai sumber belajar tersebut.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan semakin hangatnya arus globalisasi, maka sumber-sumber informasi atau sumber belajar semakin banyak, baik sumber belajar yang direncanakan (by design) maupun sumber belajar yang dimanfaatkan (by utilization) dibanding dengan masa-masa sebelumnya. Untuk mengikuti perkembangan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) yang semakin pesat sekarang ini maka pendidikan atau sekolah yang merupakan pilar utama harus dapat dimanajemen seoptimal mungkin. Guru juga yang merupakan tonggak terdepan dalam proses pembelajaran harus mampu menciptakan lingkungan yang kondusif sehingga siswa dapat senang, nyaman, dan betah dalam belajar. Di sisi lain juga, siswa atau peserta didik yang merupakan objek pendidikan dituntut untuk dapat memanfaatkan berbagai aneka sumber belajar sehingga pada akhirnya siswa dapat menguasai dan menerapkan ilmu yang dia miliki didalam kehidupan sehari-hari.


DAFTAR PUSTAKA

Anderson, O.W. & Krathwohl, D.R. (2001). A taxonomy for learning, teaching, and assessing: A revision of Bloom’s taxanomy of educational objectives. New York: Addison Wesley Longman.
AECT. 1977. Selecting Media for Learning. Washington DC: Association for Education Communication and Technology.
Barbara, S. (1998). Making instructional design decisions. Apper Saddle River, N.J.: Merill.
Belt, S. (1997). Emerging vision of an information age education,
http://www.pnx.com/gator
Dorrell, J. (1993). Resource-based learning: Using open and flexible learning resources for continous development. Berkshire: McGraw-Hill Book Company Europe.
Miarso, Yusufhadi, (2004), Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Jakarta: Kencana Edisi Satu
Percival, Fred & Henry Ellington (1988), Teknologi Pendidikan,  terjemahan Sudjarwo, Jakarta: Penerbit Erlangga
Rohani, Ahmad  (2004), Pengelolaan Pengajaran Edisi Revisi, Jakarta : PT. Rineka Cipta
Seels, Barbara B, & Rita C.Richey (1994), Teknologi Pembelajaran, Definisi dan Kawasannya, Jakarta: Unit Percetakan UNJ.


N.B.
Bapak/Ibu/Saudara, Jika dicopy silakan, mohon dicatat sumbernya sebagai sikap ilmiah

Rabu, 04 April 2012

OTONOMI DAERAH; Pesimis dan Optimis



OTONOMI DAERAH ; Pesimis dan Optimis

Dr. Muktiono Waspodo, M.Pd


Rasional

T
untutan masyarakat terhadap kemajuan bangsanya  menjadi sangat jelas ditemui di berbagai kesempatan dan tempat. Hal ini juga dapat terlihat dari  kebosanan mereka dengan bahasa “rhetorika” yang enak didengar namun kenyataan tidak demiki-an, bahkan sengaja tidak diimplementasi untuk kepentingan masyarakat pada umumnya.
Kemandirian masyarakat untuk memperkuat peran daerahnya dalam mengisi pembangunan nasional semakin semarak. Mereka dengan wawasan kedaerahan menuntut ikut berperan di dalam pembangunan nasional ini. Walaupun sebenarnya konsep wawasan kedaerahan itu sendiri sebaiknya tidak akan menggantikan wawasan kebangsa-an. Hal ini dikarenakan wawasan kebangsaan memiliki nilai yang universal yang dijunjung tinggi oleh daerah lainnya di seluruh Indonesia.
Saat ini masyarakat semakin berani bertindak terhadap berbagai kesenjangan yang terjadi disekelilingnya. Tidak ragu lagi di kalangan masyarakat untuk menyuarakan bahkan menuntut berbagai kesenjangan dituntaskan oleh pemerin-tah, selaku penyelenggara negara yang berkuasa. Gaya bahasa “memperlunak” namun mengkaburkan makna, perlu untuk kita tinggalkan. Sebab, hal inilah yang mengakibatkan kalimatnya tak lagi berbicara tentang fakta yang ada.
Masyarakat semakin sadar akan cadangan sumber daya alam yang semakin terbatas bagi kelangsungan hidupnya. Mereka menuntut berbagai penyalahgunaan penggalian potensi sumber daya alam dapat diselesaikan secara adil dan memuaskan masyarakat.
Ketidakadilan pemeratan yang ada antara pusat dan daerah menjadi issue di kalangan masyarakat untuk diadakan sesuatu perubahan. Pada intinya mas-yarakat Telah berkembang  keinginan yang maha “dahsyat” untuk merubah, memperbaiki demi penyempurnaan terhadap berbagai dimensi kehidupan masyarakat  yang ada disekelilingnya.

Otonomi Daerah, upaya perubahan.

Sesuai dengan semangat reformasi dan tuntutan masyarakat, otonomi daerah telah direalisasikan secara nyata. Otonomi daerah yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 pada hakekatnya ingin mengubah para-digma lama dalam sistem pemerintahan yang cenderung sentralistik dan birokratis menjadi paradigma baru dalam sistem pemerintahan yang cende-rung desentralistik dan debirokratis. Makna yang terkandung dalam otonomi daerah tersebut memberikan kewena-ngan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Makna tersebut di atas harus dijadikan “frame of knowledge”, pijakan untuk mengawali berbagai tindakan yang diambil.  Dengan demikian otonomi daerah ini akan memberikan kesempatan bagi Pemerintah Daerah untuk berperan lebih besar terhadap pembangunan nasional pada umumnya. Namun demikian, pernyataan tersebut sepintas mempunyai makna menguntungkan pihak pemerintah daerah, perlu ditinjau kembali secara cermat. Apakah Indone-sia sebagai suatu negara yang terdiri provinsi, kabupaten/kota sampai pada desa telah siap menerima kewenangan yang diberikan. Sebab dalam era otonomi, yang ditandai dengan berbagai perubahan dalam ketatanegaraan mau-pun aturan main bagi penyelenggaraan pemerintahan pusat maupun daerah, telah terlihat adanya “euforia dan over-expectation”
Otonomi daerah menjadi suatu wacana yang terus menerus bergulir,  dengan rangkaian kebijakan nasional untuk mengupayakan kemandirian pemerintah daerah. Suatu harapan bahwa beragamannya ketegangan antara Peme-rintah Daerah dan Pusat yang selama ini terjadi akan dapat diperbaiki dengan memberikan kewenangan secara pro-porsional.  Pada akhirnya akan terjadi berbagai perubahan yang mendasar dalam tatanan pemerintahan pusat dan daerah,  sebagai suatu konsekuensi diberlakukannya otonomi daerah.

Arus kekhawatiran

Pelaksanaan otonomi daerah, dikhawatirkan akan menyimpan potensi  kekacauan (chaos) di dalam masyarakat, seperti halnya “egosentrisme” terhadap sumber daya alam, persaingan yang kurang obyektif antar daerah, bahkan semakin terkikisnya rasa kerukunan antar daerah. Banyak yang masih salah menafsirkan bahwa otonomi dipahami hanya sebagai “kebebasan daerah untuk mengatur dirinya sendiri”, melupakan bingkai persatuan dan kesatuan bangsa. Pada akhirnya di kalangan masyarakat akan timbul sikap saling kecurigaan dan ketidaksukaan dengan daerah lain, bahkan juga dengan pemerintah pusat.
Di sisi lain, banyak pendapat dari berbagai kalangan, mengemukakan kekhawatiran akan  terjadi raja-raja kecil yang tidak kalah “rakusnya” melakukan KKN dibandingkan dengan sebelumnya. Sebab dengan diberlakukannya otonomi, maka peran kontrol  dari pemerintah pusat semakin kecil. Hal ini pun dapat dibuktikan dari fenomena yang terjadi bahwa “money politics” dalam pemili-han beberapa pejabat di daerah, tak pernah terselesaikan dengan tuntas.
Kekhawatiran lain muncul, jika pemerintah daerah tidak sanggup mengelola sumber daya alam dan manusia yang dimilikinya, akan menga-kibatkan kekacauan dalam kehidupan di daerah tersebut. Pemungutan pajak besar-besaran, menjadi alternatif daerah untuk menopang beban penyelengaraan pemerintah daerah. Persoalan yang timbul, tak selamanya pihak yang dikenai pajak sanggup memenuhi peraturan daerahnya. Pada akhirnya akan timbul kontra produktif pihak yang terkena pajak, dan roda pembangunan daerah menjadi terhambat.
Realitanya otonomi daerah tidaklah sederhana yang dipahami kalangan masyarakat. Ihwal “kemiskinan” pada lingkup wawasan kebangsaan, cende-rung akan menghilangkan obyektivitas dan fairness, serta akhirnya dapat menjadikan partisipan dan tergantung  kepada kekuasaan di tingkat lokal.

Arus Optimisme Mengembangkan Daya Saing Strategis

Disadari maupun tidak, era otonomi daerah akan memberikan peluang bagi komponen bangsa untuk saling berupaya dalam mengembangkan daya saing strategis. Sebab era saat ini dan ke depan, tidak dapat lagi setiap komponen bangsa untuk tinggal diam, dan hanya dapat bertindak jika adanya petunjuk dari “atasan”. Untuk memiliki daya saing strategis, maka pemerintah daerah harus memandang masyarakat sebagai sasaran akhirnya yang perlu dilayani secara prima.
Diberlakukannya otonomi daerah, dalam upaya mengembang daya saing strategis membutuhkan sumber daya manusia yang handal. Tidak saja  dari segi kompetensi keahliannya, namun juga komitmen, motivasi, dan nilai-nilai ahlak yang normatif. Hal ini berarti jika otonomi daerah dikumandangkan tanpa menggunakan disipilin, mawas diri akan membingungkan semua pihak yang berada di sekelilingnya.
Dalam rangka menyiapkan manusia Indonesia memiliki daya saing strategis, pendidikan menjadi sangat penting. Pada prinsipnya pengembangan daya saing strategis dilakukan melalui penciptaan iklim yang kondusif dan kompetitif dalam semua aktivitas.. Untuk itu diperlukan sumber daya manu-sia yang berjiwa “entrepreneurship” sehingga dapat mengembangkan daya strategis. Entrepreneurship mengandung arti bahwa sumberdaya manusia tersebut memiliki jiwa kewirausahaan. Namun demikian dalam mengartikan kewira-usahaaan jangan diartikan sempit sebagai “jiwa dagang”. Adapun ciri-ciri jiwa kewirausahaan itu sebagai berikut;

1.      Selalu berpikir maju, ingin lebih baik

2.      Kreatif dan selalu mencari solusi dari masalah yang dihadapi

3.      Selalu berfikir dan bertindak efektif dan efisien

4.      Berani menghadapi resiko, apabila dia yakin arah yang ditempuhnya benar

5.      Bekerja keras, tabah, tangguh dan ulet

6.      Memperoleh kepuasan atas prestasi (achievement) yang dicapainya. 

Suatu komitmen bagi pencapaian daya saing strategis adalah menciptakan tujuan yang akan mengarahkan unit kerja dengan baik. Daya saing strategis dicapai apabila pemerintah daerah telah berhasil merumuskan serta menerapkan suatu strategi dalam mencapai kepuasan kepada masyarakatya. Caranya dengan menganalisis faktor internal dan eksternal, mengidentifikasi peluang dan tantangan, serta menentukan mana di antara sumber daya tersebut yang merupakan kompetensi inti.  Strategi diarahkan untuk sejumlah tindakan yang terintegrasi dan terkoordinasi untuk mendayagunakan kompetensi inti terse-but. Pemerintah daerah perlu merumus-kan target yang perlu dicapai yakni puncak keberhasilan, dan bukan hanya sekedar “rhetorika”,  namun ada tinda-kan kongkrit yang tepat sesuai dengan permasalahan yang dihadapinya.
Yakin atau tidak, di samping potensi bawaan seseorang, maka peluang dalam mengembangkan daya saing strategis juga perlu didukung dengan lingkungan kondusif. Dalam era otonomi daerah, kharakteristik masyarakat dan potensi daerah perlu ditelaah secara cermat mungkin, sehingga dapat menjawab kebutuhan masyarakat tersebut


Analisis terhadap Fenomena


Fenomena pelaksanaan Otonomi daerah seakan membagi Indonesia dalam dua kelompok.  Di satu pihak ada kelompok yang diuntungkan. Sisi lainnya ada yang tidak diuntungkan dari diberlakukannya otonomi daerah. Dimanakah pihak kelompok Saudara berada ? Jawabannya ada di hati kita masing-masing.
Pendapat sebagian masyarakat yang merasa khawatir, dengan asumsi bahwa otonomi akan mempertajam kesenjangan sosial dan membuat tingkat pendapatan masyarakat semakin tidak merata. Mereka berpendapat bahwa otonomi daerah akan dinikmati oleh sekelompok kecil masyarakat. Sedangkan yang lainnya bisa jadi hanya sebagai “penonton” saja, karena tidak memiliki peran dan kekuasaan di wilayahnya. Persoalan lain yang tak kalah pentingnya dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya kecenderungan naiknya beban pajak yang harus ditanggung oleh masyarakat. Persoalan ini menjadi lebih buruk lagi, manakala daerahnya tidak memiliki sumber daya manusia yang handal dan menipiskan cadangan sumber daya alam di wilayah tersebut.
Kekuasaan yang dibangun dari sema-ngat kedaerahan, namun mengesam-pingkan semangat kebangsaan akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan dan penghidupan suatu bangsa. Dalam konteks ini akan ada pertentangan berbagai kepentingan, ketika otonomi daerah berjalan, mulai dari kepentingan individu, golongan dan kepentingan nasional. Salah satu fenomena yang dapat terlihat, ada sekelompok orang  yang berupaya untuk mencalonkan “putra daerah” memimpin daerahnya tanpa memperhitungkan kualitas pribadinya. Hal inilah yang perlu dicermati, akibat kesalahan pemahaman dari makna otonomi daerah. Seharusnya tidaklah demikian, pada hakekatnya otonomi daerah tidak mempersempit keragaman daerah satu dan lainnya untuk berkiprah dalam mengemban tugas di daerah lainnya.
Bangsa Indonesia dalam menghadapi otonomi daerah, seakan-akan melupakan potensi dan keragaman daerah untuk membentuk wawasan kebangsaan, dan seakan akan mempersempit menjadi suatu wawasan kedaerahan saja. Hal ini tentunya, jika dibiarkan akan mengan-cam keutuhan bangsa
Dalam rangka untuk memahami hakekat otonomi daerah, maka proses pembelajaran dan sosialisasi menjadi prioritas yang harus dilaksanakan. Pemda, DPRD, LSM, dan seluruh unit komponen yang ada di daerah harus membentuk kekuatan yang sinergis dalam menentukan prioritas program. Dengan suatu catatan, bahwa prioritas program berdasarkan kebutuhan dan potensi daerah. Unsur pengawasan dan pengendalian mutu program pada era otonomi perlu untuk ditingkatkan.
Dengan demikian hakikat otonomi sesungguhnya tidak hanya mengurangi hal-hal yang bersifat instruktif, tetapi yang lebih penting mengahapus hege-moni pemikiran top down. Hegemoni pemikiran senantiasa berakhir dengan ketidakberdayaan serta menghilangkan kesempatan masyarakat untuk lebih sejahtera dari wilayah yang dimilikinya.


Penutup


Semenjak tahun 2001 seiring dengan diberlakukannya pelaksanaan Otonomi Daerah, maka pola sentralisasi diganti dengan desentralisasi atau dekosentra-liasi. Pemerintah daerah dituntut untuk lebih berperan dalam mengembangkan daya saing strategis daerahnya sebagai upaya perwujudan untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan nasional.
Menyadari akan pentingnya peran SDM dalam pelaksanaan otonomi daerah, maka diperlukan perencanaan nasional yang lebih komprehensif dan berkesinambungan. Otonomi daerah harus berorientasi kepada karakteristik daerah dan potensi daerah sebagai modal dasar dalam pembangunan nasional pada umumnya.
Pelimpahan kewenangan kepada pemerintah daerah, harus dilaksanakan dengan prosedur yang sistematis, tidak merusak namun memperbaiki situasi dan kondisi yang telah ada. Motto yang tepat bagi gerakan otonomi daertah ini yakni “memecahkan masalah tanpa menimbulkan masalah baru” menuju masyarakat madani.

Keberhasilan otonomi tidak bisa hanya mengandalkan optimis saja, namun kerja keras, ketulusan, dan pemikiran yang inovatif tetap sangat diperlukan. Pelaksanaan otonomi daerah perlu didasari oleh suatu kekuatan moral ke arah perbaikan demi penyempurnaan segala aspek kehidupan. Tidak untuk saling balas dendam, namun saling mengkoreksi seluruh komponen bangsa untuk kelangsungan pembangunan bangsa. Esensi otonomi daerah dapat tercapai, apabila dilandasi oleh niat yang baik dan menggunakan prosedur yang benar dengan memperhatikan kaidah nilai-nilai norma yang universal.




EFIKASI DIRI WARGA BELAJAR TERHADAP CAPAIAN HASIL BELAJAR



EFIKASI DIRI WARGA BELAJAR TERHADAP  CAPAIAN HASIL BELAJAR

Muktiono Waspodo 



PENDAHULUAN

Mutu pendidikan nasional tidak dapat bertumpu hanya pada pendidikan formal, tetapi juga pada pendidikan nonformal. Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, pendidikan nonformal (luar sekolah) mempunyai ciri khusus, yaitu kegiatan pendidikannya dikelola dan diselenggarakan di luar sistem pendidikan formal. Program pendidikan nonformal antara lain meliputi pendidikan keaksaraan yang bertujuan untuk pemberantasan buta aksara dan peningkatan ketrampilan fungsional; pendidikan kesetaraan  (Paket A, B, dan C), dan pendidikan berkelanjutan melalui kegiatan kursus/pelatihan yang sesuai kebutuhan masyarakat.
Pendidikan kesetaraan memiliki peran yang strategis untuk memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang belum terpecahkan secara menyeluruh oleh penyelenggaraan pendidikan formal. Ishak Abdulhak (2003: 14-25) mengemukakan bahwa persoalan sekarang, bagaimana lembaga pendidikan nonformal memaknai dan mengembangkan program untuk memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat tersebut sehingga anggota masyarakat memiliki sumber daya yang berkualitas. Kondisi ini memiliki keterkaitan terhadap strategi peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal agar dilaksanakan dengan cermat dan berkesinambungan.
Dalam konteks artikel ini, akan difokuskan pada Program Paket B setara SLTP yang secara resmi telah dimulai sejak tahun 1994. Program ini diselenggarakan dalam rangka memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang karena tidak dapat mengikuti atau menyelesaikan pendidikan di SLTP. Program Paket B ini juga dimaksudkan untuk menunjang pelaksanaan wajib belajar


pendidikan dasar 9 tahun. Program pembelajaran  diselenggarakan dengan memperhatikan kebutuhan belajar masyarakat.
Dalam rangka mendukung pelaksanaan program kejar paket B, perlu menyiapkan tutor yang berkompeten, salah satunya  kemampuan tutor menerapkan strategi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik warga belajar. Tanpa adanya kemampuan Tutor, maka sulit untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Tidak ada strategi yang terbaik untuk semua karakteristik sasaran dan tujuan pembelajaran. Untuk itu diperlukan kecermatan dan kreatif  tutor dalam rangka membelajarkan warga belajarnya.
Hasil pemantauan di lapangan menunjukan bahwa masih banyak tutor yang menggunakan strategi konvensional yang lebih menekankan pada penggunaan metode ceramah. Pola pembelajaran yang dikembangkan kurang kondusif, warga belajar hanya menjadi obyek pembelajaran. Kondisi ini kurang dapat mengembangkan potensi peserta didik secara optimal, sehingga dapat mengakibatkan prestasi belajar yang dicapai juga kurang optimal. Tutor hanya memberikan pelajaran dengan konsep-konsep materi pelajaran yang bersifat hafalan saja. Proses pembelajaran yang demikian dapat mendorong interaksi yang searah yaitu hanya dari Tutor kepada warga belajar saja. Proses pembelajaran kurang terjadi timbal balik yang dialogis. Kondisi pembelajaran yang demikian menyebabkan warga belajar kurang termotivasi, karena warga belajar hanya akan berusaha menghafal materi yang diberikan oleh tutor, tanpa berusaha mencari dan mengembangkan pengetahuan lebih lanjut mengenai materi IPS-Ekonomi.
Berdasarkan analisis empirik terhadap kondisi pembelajaran IPS-Ekonomi pada Paket B, terdapat beberapa permasalahan yang memerlukan alternatif pemecahannya. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang sistematis dalam rangka mengembangkan strategi pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pembelajaran dan karakteristik warga belajar. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan lingkungan pembelajaran yang kondusif.
Jenis strategi pembelajaran seperti apa yang dapat diduga mempengaruhi hasil belajar warga belajar? Terdapat berbagai strategi pembelajaran yang saat ini berkembang dalam bidang pendidikan, namun yang akan dikaji dalam artikel ini adalah strategi pembelajaran kooperatif dan ekspositori. Kedua strategi pembelajaran ini diduga berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar warga belajar paket B, khususnya pada materi pelajaran IPS-Ekonomi. Selain faktor tutor, pencapaian hasil belajar juga ditentukan oleh  potensi bawaan individu dan karakteristik warga belajar itu sendiri. Faktor kepribadian menjadi sangat penting untuk dipertimbangkan sebagai potensi bawaan individu yang berpengaruh terhadap hasil belajar. Salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pembelajaran adalah tingkat efikasi diri (self efficacy) warga belajar.

PEMBAHASAN

Belajar dan Pembelajaran
Menurut Gagne (1989: 3) belajar adalah proses perubahan dalam disposisi manusia atau kapabilitas yang dicapai selama kurun waktu dan tidak semata-mata disebabkan oleh pertumbuhan. Perubahan yang dimaksudkan disini adanya perbedaan perilaku warga belajar setelah mereka mengikuti  kegiatan pembelajaran. Belajar merupakan perubahan relatif permanen dari potensi perilaku yang terjadi dan dapat diamati  Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku yang muncul karena pengalaman. Sukmadinata (2003; 186-190) menegaskan belajar merupakan kegiatan mental individu yang kompleks dan biasanya menghasilkan perubahan tingkah laku dan pikir yang belajar. Hasil belajar dapat dikaitkan dengan  terjadinya perubahan kepandaian, kecakapan, atau kemampuan seseorang dimana proses kepandaian itu terjadi tahap demi tahap (Gagne, 1989: 4-7).
Gagne berpendapat bahwa dalam belajar terdiri dari 3 komponen penting yaitu kondisi eksternal, kondisi  internal, dan hasil belajar. Menurut Gagne (1989: 189) belajar merupakan interaksi antara “keadaan internal dan proses kognitif siswa” dengan “stimulus dari lingkungan”. Proses kognitif tersebut menghasilkan suatu hasil belajar yang terdiri atas informasi verbal, keterampilan intelektual, keterampilan motorik, sikap dan strategi kognitif.
Pengertian tersebut didukung oleh pernyataan Gredler (1991:188-189) bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku manusia yang dapat diinferensikan dengan membandingkan tingkah laku sebelum dikondisikan dalam situasi  belajar dengan tingkah laku yang ditujukan setelah adanya perlakuan. Belajar merupakan suatu proses yang membuat seseorang mengalami perubahan tingkah laku dari hasil pengalaman yang diperolehnya. (Gage dan Berliner, 1984: 252). Belajar memerlukan keterlibatan secara aktif orang yang belajar, sehingga mereka akan lebih mampu mengenal dan mengembangkan kapasitas belajar dan potensi yang dimiliki secara penuh, menyadari dan dapat menggunakan potensi sumber belajar yang terdapat disekitarnya (Dimyati dan Mudjiono, 2002: 115-117).
Menurut teori belajar conditioning Pavlov, belajar adalah suatu proses mengasosiasikan respon yang sudah dimilikinya dengan stimulus baru atau isyarat (Gagne, 1989: 4). Implikasi pada pembelajaran dari teori tersebut, menekankan pada pengkondisian proses pembelajaran secara ketat sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Thorndike melakukan percobaan (instrumental condisioning), dan dibuktikan terjadi pembentukan hubungan antara rangsangan dan perilaku tertentu. Terdapat tiga hukum pembelajaran dalam teori Thorndike yakni hukum hasil (law of effect), hukum latihan (law of exercise), hukum kesiapan (law of readiness). Atas dasar ketiga hukum ini, maka pembelajaran akan lebih efektif apabila memberikan hasil yang memuaskan, disertai dengan banyak latihan dan memiliki kesiapan untuk belajar.
 Dalam proses pembelajaran, unsur yang perlu diperhatikan terutama pada aspek perbedaan individual, kesiapan untuk pembelajaran, dan motivasi. Dalam mengembangkan suasana kelas yang kondusif, teori Skinner menyarankan sebagai berikut; (1) menganalisis keadaan lingkungan kelas; (2) mengembangkan hal-hal yang dapat menjadikan peneguhan positif; (3) memilih perilaku pembelajaran yang akan diterapkan di kelas; (4) menerapkan perilaku pembelajaran, dengan pengendalian untuk mencatat dan menyesuaikan jika diperlukannya. Teori belajar pengolahan informasi yang menjabarkan bahwa proses belajar sebagai suatu gambaran sistem syaraf pusat manusia. Karena mengacu pada proses kognitif, maka proses neurofisiologi menjadi penting bila menggambarkan teori psikologi belajar kognitif (Romiszowski, 1981:10).
Reigeluth (1983: 40-41) mengemukakan terdapat dua teori utama yang melandasi kegiatan pembelajaran pada umumnya yakni; teori pembelajaran deskriptif dan teori pembelajaran preskriptif. Teori pembelajaran deskriptif lebih berhubungan dengan warga belajar dalam kegiatan pembelajaran. Teori ini menjelaskan tentang bagaimana proses pembelajaran itu berlangsung. Sedangkan teori pembelajaran preskriptif menjelaskan bagaimana kiat-kiat guru dalam membimbing siswa selama proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Menurut Reigeluth (1983:19) pembelajaran sebaiknya didasarkan pada  teori  pembelajaran yang bersifat preskriptif, yaitu teori yang memberikan “resep” untuk mengatasi masalah belajar, dengan memperhatikan 3 variabel kondisi, metode dan hasil.
Dalam konsep teknologi pendidikan, Yusufhadi Miarso (2004: 528) menegaskan  istilah pembelajaran (instruction) dibedakan dengan pengajaran (teaching). Pembelajaran, disebutkan juga kegiatan pembelajaran atau instruksional adalah usaha mengelola lingkungan dengan sengaja agar seseorang membentuk diri secara positif  tertentu dalam kondisi tertentu. Sedangkan pengajaran adalah usaha membimbing dan mengarahkan pengalaman belajar kepada peserta didik yang biasanya berlangsung dalam situasi resmi/formal.
Menurut Undang-undang  No 20 tahun 2003, pasal 1 bahwa  pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Romiszowski (1981: 110-126) mengemukakan bahwa pembelajaran adalah suatu perangkat kegiatan yang mempengaruhi orang yang belajar sedemikian rupa sehingga terjadinya proses pembelajaran. Proses pembelajaran   melibatkan dan  mengarahkan aktivitas warga belajar untuk mencapai berbagai tujuan yang telah direncanakan secara sistematis. Variabel pembelajaran dapat diklasifikasikan menjadi: (1) kondisi pembelajaran yaitu faktor yang mempengaruhi efek metode dalam meningkatkan hasil pembelajaran; (2) metode pembelajaran, yaitu cara-cara yang berbeda untuk mencapai hasil yang berbeda pada kondisi yang berbeda; (3) hasil pembelajaran, yaitu semua efek yang dapat dijadikan sebagai indikator tentang nilai dari penggunaan metode pembelajaran pada kondisi yang berbeda (Reigeluth, 1983 : 42-46).
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka terdapat empat prinsip penting dalam belajar yakni; (1) belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku akibat pengalaman/latihan yang dilakukan secara sadar; (2) perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara (relatif menetap); (3) belajar merupakan perubahan tingkah laku yang bersifat positif dan memberikan manfaat bagi individu; (4) belajar merupakan perubahan yang terarah dalam \mencapai tujuan tertentu. Sedangkan pembelajaran (instruction) adalah usaha untuk mengelola lingkungan dengan memanfaatkan aneka sumber belajar dengan sengaja agar seseorang  membentuk diri secara positif  tertentu dalam kondisi tertentu.


Hasil Belajar
Gagne, Briggs dan Wager (1979 : 24-30) mengemukakan bahwa hasil belajar dapat diamati melalui kinerja warga belajar. Terdapat lima jenis hasil belajar yaitu (1) keterampilan intelektual, yakni suatu kemampuan membuat seseorang menjadi kompeten terhadap suatu subjek sehingga mereka dapat mengelompokkan, mengidentifikasi, mendemonstrasikan dan menggenerali-sasikan suatu gejala, (2) strategi kognitif, yaitu kemampuan seseorang untuk dapat mengontrol aktivitas intelektualnya dalam mengatasi masalah yang dihadapi orang tersebut, (3) informasi verbal, yaitu kemampuan seseorang untuk menggunakan bahasa lisan maupun bahasa tulisan dalam mengungkapkan suatu masalah, (4) Sikap, yaitu kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu objek, (5) keterampilan motorik, yaitu kemampuan seseorang untuk mengkoordinasikan gerakan otot secara teratur dan lancar dalam keadaan sadar.
Reigeluth (1983: 36-52) mengemukakan bahwa hasil pembelajaran secara umum dapat dikategorikan menjadi tiga indikator, yaitu (1) efektivitas pembelajaran yang biasanya diukur dari tingkat keberhasilan siswa dari berbagai sudut, (2) efisiensi pembelajaran, yang biasanya diukur dari waktu belajar dan/atau biaya pembelajaran, dan (3) daya tarik pembelajaran yang selalu diukur  dari tendensi siswa ingin belajar secara terus menerus. Menurut Bloom (1956: 17-18), hasil belajar adalah perolehan warga belajar setelah mengikuti proses belajar dan perolehan belajar meliputi tiga bidang kemampuan yaktu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kemampuan kognitif meliputi perolehan hasil belajar dengan tingkat pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kemampuan afektif meliputi jenjang penerimaan, pemberian respon, penilaian, pengorganisasian dan karakteristik. Sedangkan kemampuan psikomotorik meliputi tingkat persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan biasa, dan gerakan komplek,   penyesuaian pola gerakan, dan kreativitas.
Reigeluth (1983: 4-8) mengatakan bahwa hasil belajar dirumuskan sebagai perilaku yang dapat diamati yang menunjukan kemampuan yang dimiliki seseorang. Penilaian dan belajar menurut Shavelson, Baxter dan Pine, merupakan dua sisi mata uang. Metoda yang dipergunakan untuk mengumpulkan data pembelajaran dipergunakan untuk memberikan informasi bagaimana tutor harus mengajar dan bagaimana warga belajar harus belajar (1997, http://www.nap.edu/nap/online/nses/orde.html: 2).
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hasil belajar adalah kemampuan yang dicapai warga belajar setelah selesai mengikuti proses pembelajaran dalam kurun waktu tertentu

Strategi Pembelajaran
Dick dan Carey (1990: 106) mengatakan, strategi pembelajaran adalah komponen umum dari suatu set materi dan prosedur pembelajaran yang akan digunakan secara bersama-sama materi tersebut. Terdapat 5 komponen strategi pembelajaran yakni; (1) kegiatan pembelajaran pendahulu-an, (2) penyampaian informasi; partisipasi peserta didik, (4) tes, dan (5) kegiatan  lanjutan. Menurut Atwi Suparman (1987: 165-191) strategi pembelajaran merupakan perpadu-an dari urutan kegiatan dan cara pengorganisasian materi pelajaran, warga belajar, peralatan dan bahan, serta waktu yang digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan  Briggs (1979: 14) mengatakan strategi pembelajaran berkaitan dengan penentuan urutan yang memungkinkan tercapainya tujuan-tujuan dan memutuskan bagaimana untuk menerapkan kegiatan-kegiatan instruksional bagi masing-masing individu. Yusufhadi Miarso (2005: 530) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran adalah pendekatan menyeluruh pembelajaran dalam sistem suatu sistem pembelajaran, yang berupa pedoman umum dan kerangka kegiatan untuk mencapai tujuan umum pembelajaran yang dijabarkan dari pandangan falsafah dan atau teori belajar tertentu.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran merupakan pemilihan alternatif yang didasari oleh suatu pola sebagai tindakan pada serangkaian kegiatan pembelajaran dalam rangka mewujudkan tujuan pembelajaran. Dalam penelitian ini menerapkan 2 (dua) jenis strategi pembelajaran yaitu kooperatif (cooperative) dan ekspositori (expository).

Strategi Pembelajaran Kooperatif.
         Menurut Arends (1998: 223), strategi pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang berpusat pada warga belajar (learner-centered principles of learning) Stahl (1994: 19) mengemukakan ciri-ciri pembelajaran kooperatif, yaitu: (1) belajar bersama teman, (2) terjadi tatap muka dengan teman, (3) saling mendengar pendapat teman, (4) produktif berbicara, keputusan tergantung pada warga belajar sendiri, dan (5) warga belajar dapat aktif dalam belajar. Selanjutnya Stahl (1994: 10-15), mengemukakan beberapa konsep mendasar yang perlu diperhatikan dan diupayakan oleh tutor dalam menggunakan strategi kooperatif di kelas, yakni sebagai berikut: (a) Kejelasan rumusan tujuan pembelajaran. (b) Penerimaan yang menyeluruh oleh warga belajar tentang tujuan belajar. (c) Ketergantungan yang bersifat positif. (d) Keterbukaan dalam interaksi pembelajaran. (e) Tanggung jawab individu. (f) Pengakuan dan penghargaan kelompok yang sukses.  (h) Sikap dan perilaku sosial yang positif. (i) Debriefing (refleksi dan internalisasi), dan (j) Kepuasan dalam belajar.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas yang dimaksud dengan strategi pembelajaran kooperatif strategi pembelajaran yang lebih menekankan pada kerjasama antar warga belajar dalam kelompok belajar sehingga diharapkan dapat mewujudkan tujuan belajar yang telah ditetapkan.

Strategi Pembelajaran Ekspositori. 
Romiszowski (1981:292-293) berpendapat bahwa strategi pembelajaran ekspositori didasarkan pada teori pemrosesan informasi. Strategi ini erat kaitannya dengan pendekatan deduktif dimana metode ini dimulai dengan penyajian informasi mengenai prinsip atau kaidah kemudian diikuti dengan tes penguasaan, penerapan dalam bentuk contoh dan penerapan pada situasi tertentu. Nana Syaodih (2003:183) mengemukakan bahwa bahan pelajaran disusun dan disiapkan dalam bentuk jadi serta disampaikan oleh tutor. Warga belajar berperan pasif, mereka berusaha menerima, menghafal, memahami dan menggunakan pengetahuan yang diberikan tutor. Mereka juga  berusaha mengerjakan latihan, dan  tugas yang diberikan oleh tutor. Penggunaan strategi pembelajaran ini lebih praktis terutama dirasakan bila menghadapi jumlah warga belajar yang sangat banyak, keterbatasan sarana dan prasarana belajar, keterbatasan biaya serta waktu belajar.
Pada penerapan strategi tersebut, warga belajar diharapkan siap untuk menerima apa yang diberikan oleh tutor atau mengikuti apa yang diberikan oleh tutornya. Strategi ini cenderung menekankan penyampaian informasi yang bersumber dari buku teks, referensi, atau pengalaman pribadi dengan menggunakan teknik ceramah, demonstrasi, diskusi dan laporan studi. Dengan demikian peran tenaga pengajar menjadi lebih dominan dibandingkan dengan warga belajarnya.
Strategi pembelajaran ekspositori merupakan kegiatan pembelajaran yang terpusat pada tutor. Dengan demikian tutor aktif memberikan penjelasan atau informasi terperinci tentang bahan materi pelajaran/pokok bahasan. Dimyati (2002: 172-173) mengemukakan bahwa peranan tutor yang penting adalah sebagai berikut: (1) penyusunan program pembelajaran; (2) pemberian informasi yang benar; (3) pemberian fasilitas belajar yang baik; (4) pembimbing warga belajar dalam pemrolehan informasi yang benar dan (5) penilaian pemrolehan informasi. Yusufhadi Miarso, (2005: 531) mengemukakan bahwa peran warga belajar yang penting adalah; (1) pencari informasi yang benar; (2) pemakai media dan sumber  yang benar; (3) menyelesaikan tugas sehubungan dengan penilaian tutor.  Penerapan strategi ekspositori ini berlangsung sebagai berikut; (1) informasi disajikan kepada pembelajar; (2) diberikan tes penguasaan, serta penyajian ulang bilamana dipandang perlu; (3) diberikan kesempatan penerapan dalam bentuk contoh dan soal, dengan jumlah dan tingkat kesulitan yang bertambah;  diberikan kesempatan penerapan informasi baru dalam situasi dan masalah yang sebenarnya.          
Dengan demikian yang dimaksud pembelajaran ekspositori adalah strategi pembelajaran yang menekankan pada proses deduktif, pembelajaran yang didasarkan pada proses meaningful reception learning  Strategi ini cenderung  menekankan penyampaian informasi yang bersumber dari buku teks, referensi atau pengalaman pribadi dengan menggunakan teknik ceramah, demonstrasi, diskusi dan laporan studi.

Efikasi Diri
Bandura (1993:146) mengemukakan efikasi diri adalah  suatu keyakinan individu bahwa dirinya mampu mengelola dan memutuskan tindakan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dengan baik. Terdapat dua jenis efikasi diri menurut Bandura yaitu efikasi diri tinggi dan efikasi diri  rendah. Seseorang yang memiliki efikasi diri tinggi, ia melihat dirinya mampu berhubungan dengan orang lain dan pengaruh yang terjadi akibat dari interaksi/hubungan tersebut. Orang yang memiliki efikasi diri tinggi memiliki usaha yang kuat untuk menyelesaikan  tugas-tugas yang relatif sulit dan mereka tidak memiliki perasaan gagal terhadap kemampuannya.  Efikasi diri tinggi memiliki harapan yang kuat untuk sukses. Orang yang memiliki efikasi diri rendah pada umumnya dihinggapi perasaan gagal, akhirnya menuju kepada hasil yang kurang memuaskan dan menjadikan kepercayaan dirinya rendah. Bandura mengemukakan bahwa Efikasi diri diperoleh melalui salah satu atau kombinasi dari empat sumber yakni performance experience, vicarious experience, verbal persuasion, dan physiological state. Kro’s (1995: 291-293) mengutip Bandura bahwa efikasi diri mempengaruhi bagaimana perasaan seseorang, berfikir, memotivasi diri sendiri dan berperilaku.
Menurut Schunk  yang dikutip oleh Juleha (2001: 97-100) bahwa efikasi diri dalam proses belajar adalah keyakinan warga belajar terhadap kemampuan koginitifnya untuk menyelesaikan tugas atau tujuan khusus yang terkait dalam kegiatan pembelajaran. Hjelle dan Ziegler (1992: 363) berpendapat efikasi diri  adalah penilaian yang dilakukan warga belajar untuk menilai kemampuannya sendiri dalam melaksanakan tugas dengan baik. Kemampuan diri membantu warga belajar untuk memilih tujuan yang diharapkan serta menentukan besarnya usaha yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Carol A. Decker (1996:14). mengemukakan bahwa terdapat empat sumber yang mempengaruhi efikasi diri yakni: perbuatan (refleksi hasil kegiatan diri sendiri), kesenangan (didasarkan perbandingan antara diri sendiri dengan orang lain), persuasori (hasil bujukan), emotif (perasaan yang dialaminya) Newlin menunjukkan, efikasi diri memiliki hubungan yang bervariasi terhadap perilaku, termasuk: produktivitas organisasi, pilihan karir, penurunan berat badan, kemampuan akademik dan kemampuan pemasaran. Efikasi diri mempengaruhi tingkat usaha seseorang, yakni ketahanannya terhadap tugas, pilihan terhadap tugasnya dan peniruan perilaku (http://www. wadsworth.com/ psychology). Efikasi diri menurut Staples, terkait dengan perilaku individu, lingkungan dan faktor kognitif yang saling berhubungan. Seseorang yang memiliki efikasi diri tinggi,  percaya bahwa ia mampu menguasai tantangan, sedangkan seseorang dengan efikasi diri rendah, nampak menurun usahanya atau bahkan tidak melakukan apa-apa (http://www.ascuss.org/wwwboard/wwwboard.html). Pajares (1996:20-35) mengemukakan bahwa efikasi diri sebagai suatu keyakinan individu yang dapat mempengaruhi tindakan belajar dan kemauan untuk menyelesaikan tugas yang terkait tujuan pembelajaran.
Newlin (1995: 1) mengemukakan,  paling tidak ada tiga sumber yang penting dalam formasi efikasi diri yakni; (1) seseorang melihat pelaksanaan tugasnya sendiri, atau apa yang telah mereka perbuat pada waktu lampau.  Perlaksanaan  tugas yang berhasil mendorong efikasi diri seseorang menjadi tinggi; (2) informasi penting bersumber dari berbagai pengalaman, atau pengamatannya terhadap kinerja orang lain. Melihat seseorang dapat melaksanakan tugas dengan baik dapat meningkatkan efikasi diri; (3) informasi penting yang bersumber dari persuasi verbal. Argumen yang didukung oleh kemampuan untuk melaksanakan tugas dapat meningkatkan efikasi diri.
Efikasi diri seseorang  dapat diketahui melalui kecakapannya, komunikasi dengan orang lain serta emosinya, sebagaimana dikemukakan oleh Pitzer dan Meyer, kecakapan personal adalah sumber informasi, sebagai bagian pengalaman hidup yang memiliki kontribusi kepada konsep diri, persuasi verbal dan bentuk lain dari pengaruh sosial,  memiliki kontribusi pada kepekaan efikasi diri (http://www.cyfc.umn.edu Parenting/Familylife/ olderlearners.html).
         Efikasi diri menurut Cassidy, diidentifikasi sebagai salah satu faktor yang memiliki kontribusi terhadap keberhasilan seseorang dalam menghadapi tugasnya secara menyeluruh. Efikasi diri ditentukan oleh; pengalaman seseorang sebelumnya seperti baik atau tidak baik; pengalaman yang mewakilinya seperti pengamatannya terhadap kesuksesan dan kegagalan; persuasif verbal, misalnya dari teman sebaya, kolega atau relasinya yang menyebabkan keyakinan dan keraguan serta keadaan fisiknya seperti adanya kelelahan fisik dan ketegangan yang mengakibatkan kecemasan dirinya (http://www. salford.ac.uk/healthSci/Selfeff.html,1998). Efikasi diri sebagai pengontrol dan pengarah tindakan individu  terhadap pilihan untuk melakukan tindakan (choice behavior) dan usaha atau unjuk kerja individu guna merealisasikan tindakan (effort performance)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa efikasi diri adalah keyakinan seseorang mengenai kemampuan dirinya mengelola dan memutuskan tindakan yang diperlukan dalam menghadapi situasi dan tugas tertentu mencakup dimensi performance experience, vicarious experience, verbal persuasion, dan physiological state.
Penelitian yang dilakukan oleh Hadi Warsito (2004. 92-109) untuk mempelajari secara empirik hubungan self efficacy, penyesuaian akademik, dan prestasi akademik mahasiswa, temuan pada penelitian ini menunjukan hubungan kausal yang bersifat positif, apabila seseorang memiliki efikasi diri yang tinggi akan lebih merasa sukses dan memiliki kinerja yang lebih besar dalam  prestasi akademik dibandingkan dengan mahasiswa yang memiliki efikasi rendah.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Bouffart, Parent, dan Larivee (1991: 153-154) diketahui bahwa para mahasiswa dengan efikasi tinggi yang sukses dalam memecahkan masalah tampak kinerjanya lebih besar dan tetap bertahan lama belajar dibandingkan dengan efikasi diri yang lebih rendah.
Penelitian yang dilakukan oleh Julaeha (2001: 97-100), menunjukan bahwa perbuatan belajar yang terjadi pada diri seseorang dapat dipengaruhi oleh keadaan efikasi dirinya. Apabila kegiatan belajar mengarah kepada perbuatan yang positif, seperti keyakinan yang tinggi terhadap kemampuan dirinya untuk mengatasi situasi keadaan, dan berusaha keras, tidak mudah menyerah dengan rintangan yang ada, maka warga belajar akan dapat mencapai prestasi hasil belajar yang tinggi pula.
Strategi pembelajaran kooperatif dan ekspositori merupakan strategi pembelajaran yang dapat digunakan Tutor dalam mengarahkan warga belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Pembelajaran kooperatif memungkinkan terciptanya kondisi pembelajaran yang kondusif bagi  warga belajar untuk belajar bekerjasama dalam kelompok secara efektif, lebih banyak memberikan kesempatan kepada warga belajar untuk aktif terlibat  proses konstruksi pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam kelompok-kelompok, penghargaan prestasi tidak hanya diberikan untuk individu tetapi juga untuk kelompok, dan tingkat kemampuan warga belajar  lebih terkontrol. Sedangkan strategi pembelajaran ekspositori lebih menekankan pada pengembangan kemampuan belajar menerima (reception learning).          
Warga belajar yang memiliki efikasi diri tinggi, terdapat keyakinan dalam melaksanakan tugasnya dengan baik. Mereka memiliki rasa percaya diri dalam menghadapi tugas-tugas yang sulit dan merasa yakin terhadap kemampuannya untuk menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapinya. Dalam pembelajaran kooperatif selain memungkinkan warga belajar untuk lebih berhasil dalam belajar, juga memungkinkan bagi warga belajar untuk mengembangkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilannya secara penuh dalam suasana yang terbuka dan demokratis. Lingkungan pembelajaran tersebut, bagi warga belajar yang memiliki efikasi diri tinggi tidak akan merasa terhambat untuk berinteraksi dalam kelompok. 
Warga belajar yang memiliki efikasi diri rendah, terdapat keraguan dalam melaksanakan tugasnya dengan baik. Keraguan atas kemampuan dirinya menyebabkan warga belajar tersebut menjadi kurang percaya diri sehingga berusaha menghindari tugas-tugas yang dianggap sulit baginya. Pada umumnya mereka merasa tidak akan mampu untuk menyelesaikan tugas dengan baik. Pada umumnya warga belajar cenderung pasif dan kurang berani untuk berinisiatif sendiri dalam kegiatan pembelajaran.
Penggunaan strategi pembelajaran ekspositori, menuntut tutor untuk lebih aktif memfasilitasi warga belajar untuk belajar dan tetap memerlukan  keterlibatan warga belajar dalam proses pembelajaran. Dalam kondisi demikian warga belajar yang memiliki efikasi diri rendah  akan merasa lebih tenang untuk mengikuti kegiatan pembelajaran. Warga belajar tidak merasa tertekan untuk melakukan aktivitas belajar  dalam kelompok. Mereka akan memperhatikan dengan seksama materi pelajaran yang diberikan oleh tutor tersebut
Strategi pembelajaran dipilih dengan maksud untuk mempermudah pencapaian hasil belajar warga belajar. Dengan demikian strategi pembelajaran yang baik, apabila sesuai dengan tujuan pembelajaran dan karakteristik individu warga belajar. Pembelajaran yang menyenangkan bagi warga belajar, apabila dirasakan oleh warga belajar kenyamanan dan kesempatan berinteraksi belajar bersama dengan warga belajar lainnya, maka akan meningkatkan kepercayaan dirinya untuk menyelesaikan tugasnya dengan baik.  Pembelajaran yang kondusif akan terwujud,  jika tutor memperhatikan perbedaan individu warga belajar, salah satunya adalah tingkat efikasi diri warga belajar. Oleh karena itu, tidak dapat dihindari dalam pengelolaan kelas, setiap tutor perlu mempertimbangkan berbagai perbedaan individu yang terjadi pada warga belajarnya. Efikasi diri akan berpengaruh terhadap pikiran dan tindakan dirinya untuk melaksanakan tugas dan pencapaian hasil belajar.

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan deskripsi hasil dan pembahasan yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama. Strategi kooperatif dapat diterapkan pada warga belajar yang memiliki efikasi diri tinggi, sebab strategi ini memungkinkan terbentuknya  kelompok belajar kecil yang terstruktur dengan baik dan terfokus pada pokok bahasan yang sedang dipelajari.  Keberhasilan dalam belajar bukan hanya diperoleh dari peran tutor, melainkan juga dari peran aktif warga belajar dalam proses pembelajaran.
Kedua. Strategi pembelajaran ekspositori dapat diterapkan pada warga belajar yang memiliki efikasi diri rendah, sebab strategi ini dapat melayani warga belajar dalam bentuk penyampaian materi secara keseluruhan berupa pengetahuan, fakta, prosedur, konsep, teori, generalisasi, hukum atau dalil beserta bukti-bukti yang mendukung.
Ketiga, Pemilihan strategi pembelajaran perlu mempertimbangkan efikasi diri warga belajar  sebab strategi pembelajaran yang sesuai dengan efikasi diri akan berpengaruh pada  pencapaian hasil belajar yang lebih tinggi.  Pelaksanaan pembelajaran akan tercipta secara kondusif, jika tutor memiliki kemampuan dalam menerapkan strategi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik warga belajar, salah satunya efikasi diri masing-masing warga belajar


C. Saran
1.      Tutor disarankan untuk membuat rencana pembelajaran yang mencakup aktivitas Tutor dan warga belajar dalam proses pembelajaran. Rencana pembelajaran tersebut disusun dengan memperhatikan tentang apa yang harus dilakukan oleh Tutor dan bagaimana aktivitas yang perlu dilakukan oleh warga belajar. Tutor disarankan untuk selalu memberikan rangsangan agar warga belajar mempunyai rasa ingin tahu (curiousity) dengan cara memberikan umpan balik terhadap hasil pekerjaan/penyesaian tugas kelompok maupun individu.
2.      Tutor diharapkan sudah mengetahui efikasi diri warga belajarnya, sehingga dapat mempersiapkan strategi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik  atau efikasi diri warga belajar. Pada akhirnya dalam memilih strategi pembelajaran, perlu memperhatikan tujuan pembelajaran dan karakterisrik dari warga belajarnya. Penerapan strategi kooperatif dan ekspositori dalam kelas tidaklah dilakukan pemilahan warga belajar  berdasarkan efikasi diri, masing-masing warga belajar dilayani secara klasikal. Namun penerapan strategi tersebut berdasarkan topik/pokok bahasan dan sub bahasan. Jadi tidak semua topik materi ajar disampaikan melalui strategi kooperatif atau ekspositori.
3.      Peran Ketua PKBM sebagai supervisor pendidikan hendaknya selalu memberikan bimbingan profesional kepada para Tutor dalam melaksanakan tugas pokoknya. Ketua PKBM diharapkan dapat memperhatikan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh Tutor, terutama dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan pembelajar-an di kelas.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulhak, Ishak, “Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia melalui Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda,” dalam bulletin VISI Nomor 15/TH XI/2003, Ditjen Diklusepa, Depdiknas, 2003, hh 14-25.

Anastasi, Anne, dan Urbina,  Susana. Psichological Testing. Canada: Prentice-Hall International, Inc., 1988

Anderson, Lorin W,  and David R.Krathwohl., Taxonomy for Learning Teaching and Assessing, A Revision  of Bloom’s Taxonomy 0f Educational Objectives,  New York, Addison Wesley Longman, Inc, 2001.

Arends, Richard I, Learning to Teach, Fourth Edition, Singapore: McGraw-Hill, 1998.

Aronson, Elliot, The Jigsaw Classrom: A Cooperative Technique (http:// jigsaw.org/, 2000.

Bandura, A, Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitif Theory, Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall,  1986.

________, Self Efficacy: Toward in Unifying Theory of Behavioral Change: Pschological Review, 84, 1997 (http:www.emry.edu. EDUCATION/ mfp.html),

________, Perceive Self Efficacy in Cognitive Development and Functioning, American Psychologist, 28(2), 1993,

Baron, Robert A, Social Psychology, dalam terjemahan Ratna Juwita.  Jakarta; Erlangga, 2003   

Bloom, Benyamin S Taxonomy of Objectives: The Classification of Educational Goals, New York: Longman Inc, 1956

________, Taxonomy of Educational Objective. Handbook I Cognitive Domain. New York: Longman. 1979.

Borg, Walter S, etc, Educational Research; An Introduction. New York & London: Longman Inc, 1983

Boufart, Parent, and Larivee, Influence of Efficacy on Self Regulation and Performance among Junior and Senior High School Aged Student, International Journal of Behavioral Development, New York, (14), 1991.

Budiharho, Paulus, Mengenal Teori Kepribadian Mutakhir, Yogyakarta: Kanisius, 1997.

Carol, Seefeldt dan Barbour, Nita. Early Childhood Education an Introduction, New York: Mac Millan Publishing Company. 1994.
     
Cassidy, Simon The Computer Self Efficacy Web Site, 1998  (http://www.salford.ac.uk/healthSci/Selfeff.html)

Decker A. Carol. “Training Transfer: Perception of Computer Use Self Efficacy among University Employess”. Journal of Vacational and Technical Education, 14 (2), 1996

Depdiknas, Kurikulum Program Paket B Setara SLTP dan Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Bidang Studi IPS-Ekonomi. Jakarta: Dit. Dikmas, 2000.

_________, Pedoman Penyelenggaraan Program Paket B Setara SLTP. Ditjen PLSP, Jakarta, 2004.

_________, Data Dan Informasi Program Pendidkan Luar Sekolah dan Pemuda,  Ditjen PLSP, Jakarta, 2004.

_________, Konsep Dasar IPS-Ekonomi, Ditjen Dikdasmen, Dit.Tenaga Kependidikan, Jakarta, 2003

 _________, Hasil Ujian Nasional Paket B tahun Pelajaran 2003/2004    Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan, Balitbang Diknas,  Agustus 2004

Dick, Walter dan Carey, Lou. The Systematic Design of Instruction, 3rd Glenview, Illinois: Scott Foresman and Company, 1990.

Dimyati dan Mujiono, Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002.

Fraenkel, J. R. dan Norman, E. W., How To Design And Evaluate Research In Education. New York:  McGraw-Hill Publishing Company. 1990.

Gagne, R.M, Leslie J. Briggs and Walter W. Wager, Principles of Instructional Desain. New York: Holt, Rinehart and Winston. 1979.

Good, Thomas L and Jerome E. Brophy. Educational Psychology London: Longman, 1990.

Gredler, Margareth E.Bell, Belajar dan Membelajarkan, terjemahan Munadir. Jakarta: PT. Radja Grapindo Persada, 1994.
Gronlund, N.E. and Robert L. Linn. Measurement and Evaluation in Teaching. New York: Macmillan Publishing Company. 1990.
    
Guilford, J. P., Psychometric Methods. New York: McGraw-Hill Book Company, Inc. 1954.

Hermawan, Wawan. Pengantar Ilmu Ekonomi. Jakarta: Universitas Terbuka, 2005.

Hjelle A. Larry dan Daniel J. Ziegler. Personality Theories. New York: McGraw-Hill Inc, 1992.

Johnson, David W., Roger T.Johnson, and Edythe J. Holubec. Cooperation in the Classroom,  MN: Interaction Book Company, 1990.

Julaeha, Siti. Self Efficacy for Learning. Jakarta, Universitas Terbuka: Jurnal Pendidikan Volume 2, Nomor 2 September 2001, hh.97-100.

Lafrancois, G.R. Psychology for Teaching. Belmont California: Wadsworth Publishing Co, 1975.

Miarso, Yusufhadi. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2004.

Murwani, Santosa, Statistika Terapan (Teknik Analisis Data) Jakarta: Program Pascasarjana UNJ, 1999

Musnir, Kiki Nadya,  Pengembangan Desain Pelatihan Efikasi Diri (Self Efficacy) pada Guru, Program Magister Psikologi Pasca Sarjana, Universitas Persada Indonesia Y.A.I, Jakarta, 2006.

Muller, D. J. Measure Social Attitudes. A Handbook for Researchers and Practitioners. New York: Teacher College Press. 1986.

Naga, Dali S., Pengantar Teori Sekor pada Pengukuran Pendidikan. Jakarta: Gunadarma. 1992.

Newlin, Michael, Self Efficacy and Chilhood Depression, 2006 (http://www.wadworth.com/psychology Study center/student/ common/hot.topics/index.html)

Pajares, F. Self-efficacy Belief in Academic Settings. Review of Educational Research, 66 (4), 1996, (http://www.coe.ohio-state.edu/hypertext/mac%20 projects2/speak1/paj.html

_____, Current Direction in Self Efficacy Research, 2002 (http//www.emory.edu/EDUCATION/Mfp/effchapter.html)

______,  Overview of Social Cognitive Theory and Self Efficacy (http://www.emory. edu/Educa-tion/mfp/eff.html)

Pittzer, Ron etc., Older Leaners and Self Efficacy, 2006, (http:/www.cyfc.um. edu/Parenting/Familiylife/olderlearners.html)

Popham, W. James. Modern Educational Measurement. Englewood Cliffs: Prentice-Hall  Inc., 1981.

  Reigeluth, Charles M.  Intructional-Design Theories and Model: An Overview of their Current Status.  London, Lawrence Erlbaum Associates Publisers ,1983.

  _________,  Intructional-Design Theories and Model: A New Paradigm of Instructional  Theory. Vol II, London, Lawrence Erlbaum Associates Publisers ,1999.

Romiszowski, A. Designing Instructional System, London: Kogan Page, Ltd, 1981.

Said, Hamid Hasan, Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial, Bandung: FPIPS, IKIP Bandung, 1996.

Sandy D., Staples etc, A Self Efficacy Theory Explanation for the Management of Remote Workers in Organization, 2006 (http://www.ascuss.org/www board/www board.html)

Schuncke, George M, Elementary Social Studies: Knowing, Doing, Caring, New York: Macmilan  Pub, Co.,1998

Shavelson R.J., G. Baxter and J. Pine. Performance Assessment: Political Rhetoric and Measurement Reality, 1997, (http://www.nap.edu/ nap/online/nses/orde.html     p. 2).

Slavin, R.E. Cooperative Learning, Theory, Research and Practice, Second Edition, Boston: Allyn and Bacon. 1988.

Stahl, R.J. Cooperative Learning Social Studies. New York: Addison Wesley, 1994.

Sudirdjo, Sudarsono, dkk, Media Pembelajaran Sebagai Pilihan dan Strategi Pembelajaran, dalam buku Mozaik Teknologi Pendidikan, Jakarta: UNJ, 2004

Sudjana, Nana. Desain dan Analisis Eksperimen, Edisi. 4 Bandung: Tarsito, 2002.

_______, Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru. 1989.

Sukmadinata, Nana Syaodih, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung: PT Rosdakarya, 2003.

Suparman, Atwi. Desain Instruksional. Jakarta: PAU-UT, 1987.

Suryabrata, Sumadi. Psikologi Kepribadian.  Ed.1., Cet.12, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2003.

Surya, Mohammad. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2004,

Suyanto dan Nurhadi. IPS Ekonomi SLTP Jilid 3 untuk  Kelas 3. Jakarta: Erlangga, 2002.

Syamsudin Makmun, Abin.  Psikologi Kependidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002.

Tripp, Mark A, Persepctive on the Development and Influence of Self Beliefs, 2000 (http:/www.umm.maine.edu/BEX/students/Mark Tripp/mt310. html).

Wahyudin. “Penyusunan  dan Validasi Kuesioner Iklim Lingkungan Pembelajaran  dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Tahun Ke-9 Nomor 043, Juli 2003, (Jakarta: Balitbang Diknas).

Warsito, Hadi, Hubungan antara Self Efficacy dengan Penyesuaian Akademik dan Prestasi Akademik, dalam Journal Psikologi, Bandung: Universitas Padjadjaran, 1991